Suku Lampung

Etnis Lampung yang biasa disebut Ulun Lampung [Orang Lampung] secara tradisional geografis adalah suku yang menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi Sumatera Selatan bagian selatan dan tengah yang menempati daerah Martapura, Muaradua di Komering Ulu, Kayu Agung, Tanjung Raja di Komering Ilir, Merpas di sebelah selatan Bengkulu serta Cikoneng di pantai barat Banten.

Asal usul

Asal-usul Ulun Lampung erat kaitannya dengan istilah Lampung sendiri. Kata Lampung sendiri berasal dari kata "anjak lambung" yang berarti berasal dari ketinggian ini karena para puyang Bangsa Lampung pertama kali bermukim menempati dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Sebagaimana I Tsing yang pernah mengunjungi Sekala Brak setelah kunjungannya dari Sriwijaya dan dia menyebut To-Langpohwang bagi penghuni Negeri ini. Dalam bahasa hokkian, dialek yang dipertuturkan oleh I Tsing To-Langpohwang berarti orang atas dan seperti diketahui Pesagi dan dataran tinggi Sekala brak adalah puncak tertinggi ditanah Lampung.
Prof Hilman Hadikusuma di dalam bukunya (Adat Istiadat Lampung:1983) menyatakan bahwa generasi awal Ulun Lampung berasal dari Sekala Brak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya dihuni oleh Buay Tumi yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekerummong. Negeri ini menganut kepercayaan dinamisme, yang dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa.
Buay Tumi kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam yang berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Bejalan diWay, Umpu Nyerupa, Umpu Pernong dan Umpu Belunguh. Keempat Umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak Sekala Brak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti. Namun dalam versi buku Kuntara Raja Niti, nama puyang itu adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati. Berdasarkan Kuntara Raja Niti, Prof Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan Ulun Lampung sebagai berikut:
  • Inder Gajah
Gelar: Umpu Lapah di Way
Kedudukan: Puncak Dalom, Balik Bukit
Keturunan: Orang Abung
  • Pak Lang
Gelar: Umpu Pernong
Kedudukan: Hanibung, Batu Brak
Keturunan: Orang Pubian
  • Sikin
Gelar: Umpu Nyerupa
Kedudukan: Tampak Siring, Sukau
Keturunan: Jelma Daya
  • Belunguh
Gelar: Umpu Belunguh
Kedudukan: Kenali, Belalau
Keturunan: Peminggir
  • Indarwati
Gelar: Puteri Bulan
Kedudukan: Cenggiring, Batu Brak
Keturunan: Tulang Bawang

Adat-istiadat

Pada dasarnya jurai Ulun Lampung adalah berasal dari Sekala Brak, namun dalam perkembangannya, secara umum masyarakat adat Lampung terbagi dua yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan masyarakat adat Lampung Pepadun. Masyarakat Adat Saibatin kental dengan nilai aristokrasinya, sedangkan Masyarakat adat Pepadun yang baru berkembang belakangan kemudian setelah seba yang dilakukan oleh orang abung ke banten lebih berkembang dengan nilai nilai demokrasinya yang berbeda dengan nilai nilai Aristokrasi yang masih dipegang teguh oleh Masyarakat Adat Saibatin.

Masyarakat adat Lampung Saibatin

Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung, empat kota ini ada di Propinsi Sumatera Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat lampung, masing masing terdiri dari:
  • Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat)
  • Keratuan Melinting (Lampung Timur)
  • Keratuan Darah Putih (Lampung Selatan)
  • Keratuan Semaka (Tanggamus)
  • Keratuan Komering (Provinsi Sumatera Selatan)
  • Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten)

Masyarakat adat Lampung Pepadun

Masyarakat beradat Pepadun/Pedalaman terdiri dari:
  • Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
  • Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
  • Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
  • Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.

Falsafah Hidup Ulun Lampung

Falsafah Hidup Ulun Lampung termaktub dalam kitab Kuntara Raja Niti, yaitu:
  • Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri)
  • Juluk-Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya)
  • Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu)
  • Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis)
  • Sakai-Sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya)
Sifat-sifat di atas dilambangkan dengan ‘lima kembang penghias sigor’ pada lambang Provinsi Lampung.
Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga diungkapkan dalam adi-adi (pantun):
Tandani ulun Lampung, wat piil-pusanggiri
Mulia heno sehitung, wat liom ghega dighi
Juluk-adok gham pegung, nemui-nyimah muaghi
Nengah-nyampugh mak ngungkung, sakai-Sambaian gawi.

Bahasa Lampung

Artikel Lengkap di Bahasa Lampung
Bahasa Lampung, adalah sebuah bahasa yang dipertuturkan oleh Ulun Lampung di Propinsi Lampung, selatan palembang dan pantai barat Banten.
Bahasa ini termasuk cabang Sundik, dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat dan dengan ini masih dekat berkerabat dengan bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Melayu dan sebagainya.
Berdasarkan peta bahasa, Bahasa Lampung memiliki dua subdilek. Pertama, dialek A (api) yang dipakai oleh ulun Sekala Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Telukbetung, Semaka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan Daya (yang beradat Lampung Saibatin), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun). Kedua, subdialek O (nyo) yang dipakai oleh ulun Abung dan Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun).
Dr Van Royen mengklasifikasikan Bahasa Lampung dalam Dua Sub Dialek, yaitu Dialek Belalau atau Dialek Api dan Dialek Abung atau Nyow.

Aksara Lampung

Artikel Lengkap di Aksara Lampung
Aksara lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab dengan menggunakan tanda tanda fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di baris bawah tapi tidak menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.
Artinya Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu dan Aksara Bugis. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah KaGaNga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.
Aksara lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan. Sebelumnya Had Lampung kuno jauh lebih kompleks. Sehingga dilakukan penyempurnaan sampai yang dikenal sekarang. Huruf atau Had Lampung yang diajarkan di sekolah sekarang adalah hasil dari penyempurnaan tersebut.

Marga di Lampung

Artikel Lengkap di Marga di Lampung

Sastra

Artikel Lengkap di Sastra Lampung

Tokoh Tokoh Suku Lampung

Negarawan dan Politisi:
Praktisi dan Profesional:
Seniman dan Budayawan:
Akademisi dan Tokoh Pendidikan:
Wartawan dan Jurnalis:
Pahlawan Pejuang Kemerdekaan:

Referensi

Hilman Hadikusuma dkk. 1983. Adat-istiadat Lampung. Bandar Lampung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung.

Pranala luar

Lihat pula

Kepaksian Sekala Brak


 


 


 


 


 


 


 

 

 

Masyarakat Enam Desa Harapkan Jembatan Penghubung

ABUNG PEKURUN - Masyarakat enam desa di Kecamatan Abung Pekurun, Lampung Utara (Lampura), mengharapkan adanya pembangunan jembatan penghubung antar desa. Karena letak enam desa yakni Desa Oganjaya, Nyapahbanyu, Sinargunung, Ogancampang, Campanggijul dan Sumbertani, berada di atas lereng pegunungan. Sedangkan untuk sampai di tiga desa yakni Pekurun, Pekurun Tengah dan Pekurun Udik harus melalui jembatan darurat yang terbuat dari kayu.
Selain jembatan masyarakat juga mengharapkan pembangunan jalan sejauh 2 km yang saat ini hanya dapat dilalui kendaraan roda dua saja, karena masih berupa jalan tanah. ”Jembatan dan jalan itu sangat penting sebagai akses penghubung antara desa-desa yang ada di kecamatan Abung Pekurun,” ujar Ahyat (28) warga Desa Pekurun Tengah saat ditemui di lokasi jembatan, kemarin (2/5).
Ditambahkan, jembatan terbuat dari kayu itu memiliki panjang sekitar 25 meter, dibangun oleh masyarakt setempat untuk kepentingan penyebrangan. Pembangunannya jembatan darurat dilakukan sejak 10 tahun lalu, namun demikian pada tahun 2005 mengalami kerusakan selanjutnya dilakukan perehapan dengan cara bergotong royong. ”Untuk pemeliharaan jembatan itu dilakukan pungutan seikhlasnya dari pengendara yang melintas,” terangnya seraya mengatakan jembatan jalan itu merupakan akses altenatif tercepat menuju enam desa itu.
Sementara itu kondisi jembatan itu sangat memprihatinkan terbuat dari potongan-potongan kayu dan bambu, yang jika dilintasi kendaraan akan menimbulkan jalan yang bergelombang. Di ujung jembatan ada dua orang penjaga yang bertugas meminta sumbangan yang hasilnya akan digunakan untuk memperbaiki jembatan itu jika mengalami kerusakan.” Kami hanya memungut bantuan seiklasnya dari masyarakat yang melintas, dana yang terkumpul akan alokasikan untuk pembelian peraltan jika jembatan itu mengalami kerusakan,” ujar Hasirin (60) dan Riki (24) dua orang yang berjaga di jembatan itu.
Menurutnya jembatan itu dibangun sejak 2005 lalu, dengan bantuan dana dari para donatur yang memberikan sumbangan seikhlasnya. Kemudian jembatan itu menyebrangi sungai yang merupakan salah satu dari sumber mata air yang masuk ke dalam bendungan wayrarem.” Sudah sejak diresmikan bendungan wayrarem tahun 1982 lalu, masyarakat selalu melintasi sungai itu untuk mencapai enam desa yang ada di pegunungan,” terangnya.
Diceritakan, awalnya masyarakat setempat melintasi sungai itu menggunakan perahu dan rakit kemudian perjalanan dilanjutken dengan berjalan kaki. Namun sejak tahun 2005 mulai dibangun jalan yang masih berupa tanah merah. Kemudian dibangun jembatan dengan dana seadanya.”Hingga saat ini jembatan itu masih terawat karena dijaga dan diperbaiki jika mengalami kerusakan,” lanjut Hasirin.
Ditambahkan, Riki jika turun hujan maka jalur itu akan sulit dilalui karena jalan menjadi licin. Sehingga seluruh masyarakat yang akan melintasi jalur itu harus ekstra berhati-hati. ”Selain medan jalan yang terjal juga masih berupa jalan tanah, tak jarag banyak yang terpeleset dan terbalik,” kata dia.
Camat Abungpekurun Ahmad Sodri, S.E, mengatakan jalan dan jembatan itu akan dianggarkan dalam tahun ini (2010, red) dan akan ditangani melalui program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) dengan leading sektornya pengerjaan program pembangunan itu Kodim 0412 dibantu masyarakat setempat. ”Jika di timbun rentang kendali jembatan akan lebih pendek dan akan menjadi 12 meter saja,” pungkasnya.

Taman Wisata Way Rarem

Terletak di Desa Pekurun Kecamatan Abung Pekurun atau 36 km dari Kotabumi, atau 113 km dari Bandar Lampung. Objek wisata Way Rarem memiliki luas 49,2 ha, tinggi bendungan 59 m dan kedalaman air 32 km, luas genangan 1200 ha.

Di samping untuk objek wisata, Bendungan Way Rarem juga berfungsi sebagai irigasi yang dapat mengairi seluas 22.000 ha, untuk Kecamatan Abung Timur, Tulang Bawah Tengah, Tulang Bawang Udik, dan Kotabumi. Terdapat beberapa spesies ikan hias air tawar seperti Ikan Sumatera, dan lain-lain. Lingkungan alam dan suasana perkampungan merupakan ciri khas lokasi ini.

Terletak di desa Pekurun Kecamatan Abumg Barat dengan jarak tempuh :
• Dari Ibukota Kecamatan (Ogan Lima) � 20 Km
• Dari Ibukota Kabupaten (Kotabuni) � 16 Km
• Dari Ibukota Propinsi (Bandar Lampung) � 113 Km
Obyek Wisata Way Rarem memiliki luas � 49,20 ha, luas genangan air � 1.200 ha, tinggi bendungan � 59 m, kedalaman air 32 m. Disamping untuk Obyek Wisata, Bendungan Way Rarem juga berfungsi sebagai irigasi yang dapat mengairi sawah seluas � 22.000 ha, untuk Kecamatan Abang Timur, Tulang Bawang Tengah, Tulang Bawang Udik, Kotabumi.



Terletak di Desa Pekurun Kecamatan Abung Barat atau 36 km dari Kotabumi, atau 113 km dari Bandar Lampung. Objek wisata Way Rarem memiliki luas 49,2 ha, tinggi bendungan 59 m dan kedalaman air 32 km, luas genangan 1200 ha.

Di samping untuk objek wisata, Bendungan Way Rarem juga berfungsi sebagai irigasi yang dapat mengairi seluas 22.000 ha, untuk Kecamatan Abung Timur, Tulang Bawah Tengah, Tulang Bawang Udik, dan Kotabumi. Terdapat beberapa spesies ikan hias air tawar seperti Ikan Sumatera, dan lain-lain. Lingkungan alam dan suasana perkampungan merupakan ciri khas lokasi ini.

Terletak di desa Pekurun Kecamatan Abumg Barat dengan jarak tempuh :
• Dari Ibukota Kecamatan (Ogan Lima) � 20 Km
• Dari Ibukota Kabupaten (Kotabuni) � 16 Km
• Dari Ibukota Propinsi (Bandar Lampung) � 113 Km
Obyek Wisata Way Rarem memiliki luas � 49,20 ha, luas genangan air � 1.200 ha, tinggi bendungan � 59 m, kedalaman air 32 m. Disamping untuk Obyek Wisata, Bendungan Way Rarem juga berfungsi sebagai irigasi yang dapat mengairi sawah seluas � 22.000 ha, untuk Kecamatan Abang Timur, Tulang Bawang Tengah, Tulang Bawang Udik, Kotabumi.



Di Kala Fajar
Di Kala Senja